Siapakah Shahabat Rasulullah Saw. yang lembut lagi santun hatinya ?

Rabu, 26 Agustus 2009

Perang unta "Waq’atul Jamal"

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam Jl. Blora 29 Jakarta Oktober 1981

Perang Unta

Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindar­kan lagi namun Imam Ali r.a. masih tetap berusaha utk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama muslimin. Ia teringat kenangan lama yg indah ketika bersama Thalhah dan Zubair berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.

Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dgn dua tokoh bekas sahabatnya yg saat itu telah mengangkat senjata utk menentangnya. Pada pertemuan muka dgn Thalhah Imam Ali r.a. berkata: “Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isteri­mu sendiri di rumahmu tetapi engkau datang ke tempat ini mem­bawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?”

Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya da­pat menundukkan kepala utk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yg dipimpinnya.

Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran segera mengikuti sambil berka­ta: “Demi Allah aku tak akan melepaskan tekadku utk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia lolos. Akan kubunuh dia krn dia juga turut membunuh Utsman!”

Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yg dilepaskan oleh anggota pa­sukannya sendiri.

Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dgn Zubair ia bertanya: “Hai Abdullah apakah yg mendo­rongmu sampai datang ke tempat ini?”

“Untuk menuntut balas atas kematian Utsman” jawab Zu­bair dgn terus terang.

“Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?” tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. “Allah mengutuk orang yg membunuhnya! Hai Zubair engkau kuingatkan. Ingat­kah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. ­waktu itu beliau bertopang pada tanganmu melewati aku ke­mudian beliau tersenyum padaku lalu menoleh kepadamu sambil berkata: “Hai Zubair engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!”

“Oh ya” jawab Zubair setelah beberapa saat mengingat-­ingat.

“Mengapa engkau sekarang memerangi aku?” tanya Imam Ali r.a. pula.

“Demi Allah” sahut Zubair “aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar utk memerangimu.”

Selesai mengucapkan kata-kata itu Zubair cepat-cepat ke­luar meninggalkan pasukan dgn air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yg bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair ter­pisah dari pasukannya segera diikuti dan kemudian dibunuh.

Perang Unta atau Waq’atul Jamal antara sesama kaum mus­limin sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq’atul Jamal Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengata­kan bahwa dua pasukan saling berhadapan pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah terus menerus dibakar semangatnya dgn syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan utk mengarungi pertem­puran sengit melawan Imam Ali r.a. dan pasukannya.

Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: “Tidak ada fihak yg harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!” Sejalan dgn itu ia menarik tali kekang unta yg dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:

Hai ibu… hai ibu tanah air telah lepas dariku

Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan

Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan

Jika Ali lepas dari tangan matilah aku

Atau jika dua anaknya Hasan dan Husein lepas..

Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!

Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan ia sen­diri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dgn pasir. Tali kekang yg lepas dari tangannya segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yg benar-benar berani bertempur sampai mati ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil meng­hunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a. Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :

Mereka kuserang tetapi tak kulihat ayah si Hasan

Aduhai..itu merupakan kesedihan di atas kesedihan

Mendengar tantangan Abdullah bin Abza Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan utk melakukan serangan dgn tom­bak. Beberapa saat perang tanding berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a. tiba-tiba ujung tombak yg runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya: “Sudah­kah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?” Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.

Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat meng­adu senjata banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: “Hancurlah muka kalian!” Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a. meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain.(1)

Melihat peperangan semakin dahsyat bersama regu pasukan yg mengenakan serban hijau terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan Al Husein dan Muhammad Al Ha­nafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yg ber­nama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasu­kan Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: “Majulah dgn panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan ber­henti di tempat lain!”

Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah ia sudah dihujani anak-panah yg beterbangan dari arah lawan. Melihat itu ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: “Tunggu dulu sampai mereka kehabisan anak-panah!”

Mengetahui hal itu Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yg disuruhnya itu dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban Imam Ali menghampirinya sendiri dari be­lakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya Ia membentak: “Hayo maju!”

Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yg di tangan puteranya diambil kembali dgn tangan kiri sedang pedang yg terkenal dgn nama “Dzul Fiqar” terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan “Jamal”. Setelah melaku­kan serangan beberapa saat lamanya menangkis dan memukul musuh Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.

“Ya Amirul Mukminin” desak Al Asytar “cukuplah kami saja yg melaksanakan tugas itu!”

Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Me­noleh saja pun tidak darahnya masih mendidih. Sedemikian me­luapnya sampai semua orang yg ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yg berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pa­sukan kepada puteranya Muhammad A1 Hanafiyah.

Segera ia maju lagi menyerang musuh utk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sam­bil memainkan pedang dgn gesit dan cekatan. Anggota-ang­gota pasukan Thalhah yg menjadi sasaran serangannya lari ter­birit-birit menyelamatkan diri. Banyak yg mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua Imam Ali r.a. kembali lagi ke induk pasukan.

“Kalau anda sampai gugur” puji sahabatnya setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya “barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah cukup kami saja yg menyerang dan bertempur!”

“Demi Allah” jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-­sahabatnya itu. “Aku sangat tidak setuju dgn fikiran kalian.

Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kam­pung akhirat!”

Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: “Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!”

Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yg berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: “Siapa orangnya yg sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!”

Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran unta yg di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai me­ringkik-ringkik keras sekali krn tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.

Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang utk lbh mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terham­bat tumpukan manusia yg berada di sekelilingnya. Setiap ang­gota pasukan yg mati penggantinya datang berlipat ganda.

Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: “Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dgn panah! Bantailah unta celaka itu!”

Unta yg dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yg menembus krn di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor lan­dak raksasa.

Terdengar lagi suara orang berteriak: “Hai penuntut balas darah Utsman!” Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yg diteriakkan pasukan Thalhah.

Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dgn semboyan: “Hai Muhammad!” Nama putera Imam Ali r.a. yg memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera meng­ikuti semboyan yg diserukan Imam Ali r.a.

Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.

Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yg diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.

Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yg terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yg makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yg ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah me­lewati mayat-mayat mereka.

Perlawanan yg diberikan oleh pasukan Makkah dan Bash­rah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa sudah tidak mereka peduli­kan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yg besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yg luka dan mati. Padang pasir yg kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.

Melihat keadaan yg mengerikan itu Imam Ali r.a. meng­ambil suatu keputusan cepat utk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Am­mar. Kepada kedua orang sahabatnya itu Imam Ali r.a. memerin­tahkan: “Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai api­nya masih berkobar. Unta itulah yg dijadikan semacam kiblat oleh mereka!”

Dua orang yg diperintah itu segera maju bersama bebe­rapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya ber­nama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta lalu ponok dekat lehernya dipukul de­ngan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta mering­kik keras-keras dan akhirnya rebah.

Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perin­tah: “Potong tali pengikat Haudaj!”

Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu gakar Ash Shiddiq : “Ambillah sau­dara perempuanmu!” Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muham­mad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza’iy.

Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Ab­bas supaya menemui Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu utk duduk. Kuambil saja sebuah bantal yg dibawa olehnya selama perjalanan lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata: “Hai Ibnu Abbas engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!”

“Ini bukan rumah bunda” jawabku “bukan rumah yg oleh Allah bunda diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda aku tidak berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda!”

“Melalui aku” kataku meneruskan “Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke Madinah.”

Tiba-tiba ia menyahut: “Mana ada Amirul Mukminin?”

“Dulu memang Abu Bakar” jawabku dgn sabar dan hormat “kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang Ali!”

“Tidak aku tidak mau!” sahut Sitti Aisyah.

“Bunda sekarang bukan lagi orang yg dapat memerintah atau melarang” kataku terpaksa menegaskan “Tidak bisa meng­ambil dan tidak bisa memberi.”

Sitti Aisyah kemudian menangis sampai suaranya kedengar­an dari luar rumah. Lalu ia berkata: “Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku insyaa Allah Ta’aalaa. Demi Allah tidak ada suatu negeri yg kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang ini.”

“Mengapa begitu?” tanyaku. “Demi Allah kami tetap me­mandang bunda sebagai Ummul Mukminin. Kami tetap meman­dang ayahnya bunda Abu Bakar sebagai seorang shiddiq.”

Sehabis pertemuan dgn Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya kulaporkan semua yg kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yg dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu Amirul Mukminin merasa le­ga. Menanggapi laporanku ia berucap: “Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi jawaban jawaban seperti itu.”

Sudah lazim terjadi tiap kelompok masyarakat atau pasukan ssusai menghadapi peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yg menuntut agar semua orang yg terlibat dalam pasukan lawan yg sudah kalah itu dijadikan tawanan diperlakukan sebagai budak dan dibagi-­bagikan.

Menjawab tuntutan ekstrim itu dgn tegas Imam Ali r.a. mengatakan: “Tidak!”

“Mengapa anda melarang kami?” tanya fihak ekstrim itu “untuk menjadikan mereka sebagai hamba-hamba sahaya pada­hal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!”

“Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu” ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. “Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun tentang apa saja yg dipergunakan pasukan musuh utk melawan kalian boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yg berada di dalam rumah penduduk Bahsrah apalagi yg pintunya tertutup rapat semua itu adl milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!”

Anasir-anasir ekstrim tidak puas dgn penjelasan itu. Me­reka tetap bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya.

Malahan berani mengucapkan kata-kata yg bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yg batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak Imam Ali r.a. menjawab dgn tantangan: “Coba siapa dari kalian yg berani merampas Sitti Aisyah…? Coba siapa yg berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh jawab… Dia akan kuserahkan!”

Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yg sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t.

Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a. Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan yg baru saja melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terjadinya pertempu­ran. Bersama beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. keluar utk membuktikannya sendiri dgn hati tersayat-sayat sedih.

Benar bahwa pada akhir masa hidupnya Thalhah mengambil sikap permusuhan tetapi bagaimana pun juga ia adl sahabat Rasul Allah s.a.w. dan termasuk pejuang yg gigih menegakkan Islam bersama para sahabat Nabi yg lain. Tidak jarang di masa lalu Imam Ali r.a. berjuang bahu-membahu dalam berbagai pe­perangan melawan kaum musyrikin.

Imam Ali r.a. bukan seorang pembalas dendam dan bukan pula orang yg tidak mengenal peri-kemanusiaan. Ia mempunyai rasa keadilan yg sangat tinggi. Oleh krn itu tidak sukar bagi­nya menilai seseorang dgn ukuran yg obyektif. Thalhah me­mang dipandang telah berbuat salah tetapi kesalahannya tidak menghilangkan kebajikan-kebajikan dan jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin. Fikiran-fikiran seperti itu layak dimiliki oleh seorang pemimpin ummat yg hidup penuh taqwa dan zuhud. Sekelumit pun Imam Ali r.a. tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam menghadapi perlawanan Thalhah. Hanya kebenaran dan keridhoan Allah sajalah yg didambakan sepanjang hidupnya.

Setibanya di depan jenazah Thalhah bin Ubaidillah ia menun­dukkan kepala. Kemudian jongkok utk membersihkan jenazah dari lumuran debu bercampur darah. Imam Ali r.a. tidak sanggup membendung derasnya linangan airmata dan menangislah ia ter­sedu-sedu. Ia berdiri menengadah ke langit sambil mengangkat ke­dua belah tangan memohonkan pengampunan kepada Allah s.w.t. bagi Thalhah bagi dirinya sendiri dan bagi segenap kaum muslimin. Selesai berdoa Imam Ali r.a. memerintahkan beberapa orang sahabat supaya membenahi jenazah Thalhah dgn se­baik-baiknya.

Kembali ke tempat kediamannya

Perang Unta atau Perang Jamal telah selesai. Tibalah saat yg tepat utk segera mengembalikan Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. ke Madinah. Untuk keperluan itu Imam Ali r.a. mempersiap­kan segala sesuatu yg dipandang perlu guna menjamin keama­nan dan keselamatan Ummul Mukminin selama dalam perjalanan pulang.

Persiapan dilakukan dgn sebaik-baiknya krn ia menge­tahui bahwa di kalangan pasukannya terdapat anasir-anaisr eks­trim yg jika tidak diadakan tindakan-tindakan pencegahan dapat berbuat onar dan mengganggu perjalanan Sitti Aisyah r.a. Bagaimana pun juga Ummul Mukminin harus dihormati dan di­lindungi.

Tak mungkin Ummul Mukminin dilepas seorang diri me­nempuh perjalanan jarak jauh di tengah padang pasir belantara. Ia harus dikawal. Tetapi siapakah yg harus mengawalnya? Apakah seregu pasukan dapat diserahi tugas pengawalan Ummul Muk­minin? Tentu saja dapat. Tetapi kemungkinan resikonya pun ada. Lebih-lebih mengingat Ummul MuKminin itu baru saja dianggap sebagai salah seorang pemimpin. Setelah ia gagal dan keluar dari peperangan sebagai fihak yg kalah kemudian dipulangkan ke Madinah dgn pengawalan pasukan yg baru saja berhenti

memusuhinya kemungkinan apakah yg bisa terjadi di tengah perjalanan?

Sebagai seorang pemimpin yg sudah biasa berkecimpung dalam peperangan menghadapi tipu muslihat musuh Imam Ali r.a. tidak kehilangan akal. Sejumlah wanita dari Bani Qies diajak bermusyawarah dan diberi petunjuk tentang apa yg harus dilakukan dalam melaksanakan tugas. Mereka diminta kesediaan­nya utk bertindak

sebagai regu pengawal Ummul Mukminin.

Imam Ali r.a. juga mengerti bahwa krn mereka itu se­muanya wanita mungkin tidak akan disegani atau ditakuti oleh orang-orang yg hendak berbuat jahat di perjalanan. Agar tidak sampai dipandang “remeh” oleh orang lain mereka harus ber­pakaian sebagai pria. Lengkap dgn jubah dan serban serta pe­dang tersandang di pinggang. Para pengawal khusus ini harus dapat bertindak seperti pria selama dalam perjalanan.

Selain wanita-wanita yg bertugas itu sendiri seorang pun tidak boleh mengetahui rencana itu. Perahasiaannya dilakukan dgn ketat.

Setelah semua persiapan selesai di bawah lindungan Ilahi Ummul Mukminin diberangkatkan pulang ke Madinah. Selama dalam perjalanan Sitti Aisyah r.a. yg berada di dalam haudaj sama sekali tidak mengetahui bahwa para pengawalnya terdiri dari kaum wanita. Segala yg diperlukan selama perjalanan sudah di­sediakan dalam haudaj sehingga Sitti Aisyah r.a. tidak perlu turun utk suatu keperluan. Begitu juga “para prajurit” tak seorang pun dari mereka yg berhadapan muka dgn Sitti Aisyah r:a. dan tak seorang pun yg bercakap-cakap dgn suara yg bisa di dengar dari haudaj. Semuanya diatur sedemikian rapi dan sem­purna.

Sepanjang perjalanan Ummul Mukminin bersungut-sungut krn dikiranya Imam Ali r.a. mempercayakan pengawalan atas dirinya kepada orang-orang pria. Bukankah itu tidak sesuai de­ngan tatakrama yg semestinya? Ia bersungut-sungut dan terus bersungut-sungut krn tidak menduga sama sekali bahwa rom­bongan pengawal yg tampak gagah itu semuanya terdiri dari kaum wanita!

Baru setelah tiba di Madinah yaitu setelah Ummul Mukmi­nin turun dari haudaj ia melihat sendiri semua prajurit pengawal­nya menanggalkan jubah sorban dan sabuk gantungan pedang. Ia terpukau keheran-heranan mengapa semuanya itu tidak diketahui padahal perjalanan sedemikian jauh? Sambil menanggalkan pa­kaian pria “prajurit-prajurit” itu terkekeh-kekeh dan berkata ke­pada Ummul Mukminin: “Lihatlah kami ini semuanya wanita!”

Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a kini telah kembali ke tem­pat kediaman semula dgn penuh kenangan pahit. Sejak itu sampai akhir hayatnya ia tidak lagi melibatkan diri dalam kegiatan politik apa pun. Seluruh sisa hidupnya yg masih panjang itu di­pergunakan sebaik-baiknya utk menekuni kehidupan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada pesan-pesan suaminya Nabi Muhammad s.a.w.

Sebuah Penilaian

Seusai Perang Unta Imam Ali r.a. bersama pasukannya me­nuju ke sebuah dusun di Bashrah Dzi-qar. Di dusun itu dulu per­nah terjadi pertempuran seru antara pasukan muslimin melawan pasukan Persia.

Abu Minhaf menyajikan keterangan Zaid bin Shuhan sa­habat Imam Ali r.a. yg menyaksikan dan mendengarkan sen­diri apa yg dikatakan olehnya dalam khutbah yg diucapkan di dusun Dzi-qar sehabis perang Unta.

Dengan serban berwarna hitam terlilit di sekitar kepala kata Zaid bin Shuhan Imam Ali r.a. mengucapkan sebuah Khut­bah yg berisi penilaian tentang Perang Unta.

“Alhamdulillah dalam segala hal dan segala keadaan sepan­jang hari dan sepanjang malam. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adl Rasul Allah serta ham­ba-Nya. Beliau diutus sebagai rahmat kepada segenap manusia hamba Allah. Pada saat bumi ini penuh dgn fitnah goyah ika­tan peraturan penghuninya di mana setan-setan disembah dan di­puja iblis musuh Allah menyelinap ke dalam aqidah semua pen­duduk.”

“Pada saat seperti itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib s.a.w. memadamkan kobaran apinya dan memudarkan percikan baranya. Dengan Rasul-Nya itu Allah s.w.t. mencabut tongak-tonggak penghalang dan menegakkan semua yg miring serba bengkok. Beliau s.a.w. adl pembimbing ke jalan hidayat seorang Nabi pilihan Allah s.w.t. Beliau telah menunaikan apa yg telah diperintahkan Allah kepadanya dan telah pula menyam­paikan risalah Tuhannya kepada ummat manusia. Dengan Rasul-­Nya itu Allah s.a.w memperbaiki semua yg rusak mengamankan semua jalan menuju ke arah kebenaran memulihkan kerukunan dan mempersatukan semua orang yg dahulu dadanya dibakar oleh perasaan dendam dan dengki.”

“Setelah semuanya itu terwujud menjadi kenyataan yg be­nar Allah s.a.w. memanggil beliau s.a.w. kembali ke sisi-Nya da­lam keadaan beliau selalu bersyukur. Sepeninggal beliau s.a.w. kaum muslimin membai’at Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Kha­lifah. Abu Bakar telah bekerja tanpa menghemat tenaga. Setelah wafat ia diganti oleh Umar. Umar pun telah bekerja dgn se­penuh tenaga. Setelah wafat kaum muslimin menggantinya de­ngan membai’at Utsman sebagai Khalifah. Ia telah mendapatkan sesuatu dari kalian dan kalian pun telah memperoleh sesuatu dari dia sampai akhirnya terjadi apa yg telah terjadi.”

“Kemudian sesudah itu kalian datang kepadaku untuk. me­nyatakan bai’at padahal aku sama sekali tidak pernah membutuh­kan hal itu. Waktu itu kalian kutinggal masuk ke dalam rumah tetapi kalian mendesak supaya aku keluar. Aku menahan tangan tetapi kalian menarik-narik dan berdesak-desakan memperebut­kan tanganku sampai kukira kalian akan membunuhku atau hen­dak saling bunuh di antara kalian sendiri. Namun ternyata kalian membai’at diriku sedang aku sendiri tidak merasa senang atau gembira.”

“Allah s.w.t. mengetahui bahwa aku tidak suka memim­pin pemerintahan atau memegang kekuasaan di kalangan ummat Muhammad s.a.w. Sebab aku mendengar sendiri beliau s.a.w. per­nah menyatakan: “Tidak ada seorang penguasa pun yg memerin­tah ummatku yg kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyat­nya utk diperlihatkan catatan-catatan tentang perbuatannya. Jika ia seorang yg berlaku adil akan selamatlah. Tetapi jika ia seorang yg berlaku dzalim akan tergelincirlah ke dalam neraka.”

“Kalian bersama orang banyak membai’atku. Begitu juga Thalhah dan Zubair. Dua orang itu pun menyatakan bai’atnya ma­sing-masing kepadaku. Waktu itu kulihat ada tanda-tanda lain yg memperlihatkan niat cidera dalam pandangan mata mereka. Tak lama kemudian dua orang itu minta izin kepadaku utk mela­kukan umrah. Mereka berdua kuberitahukan terus terang bahwa sebenarnya mereka itu tidak berniat melakukan umrah. Tetapi mereka berangkat juga. Lalu secara diam-diam menghubungi Sit­ti Aisyah. Bersama orang lain yg mau mengikuti kedua orang itu Sitti Aisyah dikelabui. Pengikut-pengikut mereka itu terdiri dari orang-orang Makkah yg baru memeluk Islam setelah kota Makkah dibebaskan oleh Rasul Allah s.a.w. dari kekuasaan kaum musyrikin.”

“Kemudian mereka semua berangkat menuju Bashrah. Di­sanalah mereka melakukan perbuatan tercela dan merugikan kaum muslimin. Alangkah anehnya dua orang itu. Dulu mereka bersi­kap loyal kepada Abu Bakar dan Umar tetapi kepadaku mereka bersikap membangkang dan memberontak. Padahal mere­ka tahu benar bahwa aku ini tidak kurang dibanding dgn Abu Bakar dan Umar. Jika aku mau tentu hal itu sudah kukatakan sejak dulu.”

“Yang pasti ialah bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan telah me­nulis surat kepada dua orang tersebut dari Syam utk berusaha membujuk. Dua orang itu merahasiakan surat Muawiyah terhadap­ku lalu keluarlah mereka mengelabui orang banyak dgn alas­an seolah-olah dua orang itu hendak menuntut balas atas terbu­nuhnya Khalifah Utsman. Demi Allah dua orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa aku ini memang tidak melakukan perbuatan yg sangat tercela seperti itu. Tetapi dua orang itu ti­dak mau bersikap adil terhadap diriku dan terhadap diri para pem­bunuh Utsman.”

“Sebenarnya dua orang itulah yg langsung terlibat dalam penumpahan darah Utsman dan dua orang itulah yg seharusnya dimintai pertanggunganjawab. Alangkah kosongnya tuduhan mereka itu! Demi Allah dua orang itu benar-benar sesat dan tidak dapat mendengar tidak mau mengerti dan tidak dapat melihat. Hanya setan-setan sajalah yg telah menggiring pasukan berkuda dan pejalan kaki di belakang dua orang itu utk mengembalikan kedzaliman kepada tempatnya dan mengembalikan kebatilan kepada asal mulanya.”

(1)Ibnu Abil-Hadid: Syarh Nahjil-Balaghah VI/224-229 dan Lubabun-nuqul Fi Asbabin-nuzul: Imam Jalaluddin Assayuthi.

Wassalam

Armansyah

Copyright

sumber : file chm kajian islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar